Sedekat Dunya dan Barzakh

Bismillah.. Hai, apa kabar?

Sepertinya banyak postingan saya yang berawal dengan "lama ngga posting" etc etc.
Kali ini semoga sedikit beda. Hahaha..... *apanyaa coba

"Mau curhat aja deh."
"Curhat apa?"
"Curhat 6 September 2017, lagi kangen soalnya. Padahal kangen terus."

Begini ceritanya. 

Susah juga ya cerita. Bingung mulai dari mana. Pada intinya, tanggal 6 September 2017 alias seratus  sekian hari yang lalu, bapak saya meninggal. Apa rasanya? Tebak lah. Tebak sendiri, atau bongkar memori lama punyamu sendiri, bagi yang sudah ditinggal juga. Bagian ini saya tidak bisa gambarkan seperti apa lewat kata-kata. Singkat kata, akhirnya saya sudah lebih berdamai dengan kenyataan. Rasanya sampai saat ini ringan saja menyebut-nyebut kata bapak. Seperti masih ada. Ya memang masih ada. Bapak kemarin sakit, 3 hari di RS Sardjito, hari ketiga, malamnya, sekitar pukul 23.00 WIB beliau berpindah alam. 

Orang-orang sering bercerita tentang wasiat-wasiat orang yang hendak meninggal. Bapak pun sama. Tapi saya tidak menganggap serius itu semua awalnya. Bagi saya beliau sedang gojek, bercanda. Obrolan semacam siapa duluan dan siapa belakangan di keluarga kami memang tidak asing. Apalah saya yang juga mungkin kurang peka. Baru sadar banyak wasiat setelah beliau meninggal.
Hari-hari sebelum pergi opname 3 hari di RS Sardjito, banyak hal yang masih beliau sempatkan. Bapak sempat berkunjung ke rumah Bude (Kakak perempuan bapak) dan berpesan untuk menjaga Bulik dan keponakan-keponaan beliau. Beliau meminta agar Bude sering-sering menengok adik dan keponakannya. 

Bapak juga berpesan pada ibu
"Ora ana wong mati anu penyakit, kabeh Gusti Alloh sing kerso." 
Tidak ada orang meninggal karena penyakit, semuanya karena Alloh yang berkehendak. 
"Nek aku mati, kowe kudu sing ikhlas."
Kalau aku mati, kamu harus ikhlas.
Bapak seperti mempersiapkan ibu agar tidak sedih berlarut-larut. Bapak mengerti betul bahwa ibu sangat mendalam perasaannya, seperti yang kami anak-anaknya juga pahami, mungkin.
Bapak juga berpesan pada kakak perempuan saya. Isinya apa? Intinya nitip saya berhubung saya anak ragil dan masih amanah bapak juga karena belum menikah. 
Untuk saya?
Bapak juga berpesan untuk saya. Beliau minta agar saya cepat lulus dan segera bekerja, gantian dengan beliau. Saat tiga hari di rumah sakit, bapak juga berpesan. Tapi saya juga tidak berpikir apapun saat itu. Saya tidak berpikir akan ditinggal bapak. Saya optimis bapak pulih karena sebelumnya pun begitu. Salah satu yang bapak sampaikan, 
"InsyaaAlloh Bapak ya ayem. Iput ndongakaken Bapak kan?"
InsyaaAlloh bapak tenang. Iput doain bapak kan?
Beliau mengucapkan itu sambil mengelus kepala saya saat saya duduk bersandar di bed beliau.
Dulu, entah kapan, sebelum saat itu pun, bapak kerap berpesan pada anak-anaknya, "Bapak ndak minta apa-apa. Bapak berharap anak-anak bapak pada doain bapak kalau bapak meninggal." 
Ya, karena seperti yang saya bilang, dikeluarga kami bapak ibu beberapa kali berpesan begini dalam obrolan-obrolan kami. Dengan saya terutama, berhubung saya ragil yang kalau di rumah senang sekali diskusi a sampai z ngusel-ngusel bapak-ibu menjelang tidur.

Saya ingat senyum terakhir beliau ke Ibu saya. Beda. Sungguh beda. Lega entah apa. Beliau pergi dengan tenang. Kami berprasangka baik tentang kepergian beliau karena sungguh, semuanya seperti lancar-lancar saja. Saya ingat cerita beliau di obrolan-obrolan kami bahwa Alloh menciptakan kalimat "Laa ilaha illallah" dengan spesial hanya perlu gerak lidah. Dan saya menyaksikan apa yang beliau pernah ceritakan pada saya di depan mata saya sendiri, saya lihat gerak lidah beliau melafadzkan kalimat itu. Saya duduk di samping kanan beliau, mengusap kening beliau yang berkeringat dengan handuk dan menduga-duga. Menahan gejolak prasangka bahwa bapak akan pergi karena sungguh, ini pengalaman pertama melihat ajal di depan mata.
Sungguh rasanya pun nafas saya tertahan saat bapak seperti berhenti menarik nafas untuk beberapa saat. Saya tidak tega berpikiran jauh meski terus terbersit. Saya memohon pada Alloh saat itu tidak menampakkan kesedihan di depan bapak. Saya memaksa diri berpikir optimis bapak akan sehat kembali. Ibu saya saat itu tiba-tiba bersalaman dengan bapak, beliau berdua bermaaf-maafan, lalu ibu berpesan pada saya untuk tidak berhenti membisikkan kalimat thoyyibah di samping bapak. Ibu lalu keluar. Dan ternyata beliau keluar karena tidak tega melihat bapak sedang dalam masa sakaratul mautnya. Saya sendiri tidak bersalaman atau bermaaf-maafan dengan bapak. Saya saat itu jujur heran dengan ibu saya, seolah beliau sudah mengerti bapak akan meninggal. Sedang saya, saya belum pernah langsung menunggui orang sedang berproses dengan ajal. Saya tidak yakin persis apa yang sedang saya hadapi saat itu.

Meski menyangkal pikiran-pikiran akan ditinggal bapak saat itu, saya pun mulai memeriksa kaki bapak. Orang bilang ketika akan meninggal ada bagian tubuh yang dingin. Dari situ nyawa diambil, katanya. Saya belum tahu dingin seperti apa yang dimaksud. Tapi kaki bapak saat itu hangat, biasa. Justru tangan beliau yang dingin. Keduanya sangat dingin. Mungkin malaikat pencabut nyawa mengambil nyawa dengan menggandeng tangan beliau. Entah, Husnudzon saya.

Saran saya, penting bagi kita yang masih diberi waktu hidup untuk belajar bagaimana menemani orang dalam menjemput ajal. Sungguh, ada hal-hal yang sebelumnya tidak ketahui tuntunan sunnahnya ketika sedang duduk menemani bapak. Untung saat itu ada kakak ipar saya yang mengingatkan bagaimana seharusnya. Cek kajian ustadz Oemar Mita ya tentang hal ini. Sungguh, ini penting.

Sampai saat ini, saya tahu bahwa ibu saya masih enggan berkunjung ke Jogja, karena Jogja membangkitkan memori tentang bapak yang masih sering membuat beliau menangis rindu. Begitu juga saat bersama saya. Mungkin ibu saya merasa ada yang kurang, karena dulu setiap kali Iput pulang, biasanya bapak heboh juga ngajak Iput jajan atau minta ibu masak sesuatu yang beda, atau bahkan rela membatalkan liburan dengan teman-teman beliau demi menemani anak tercinta di rumah. Atau mungkin karena saya saja anak beliau yang menyaksikan bapaknya pergi secara langsung. Sekarang di Kartu Keluarga kami hanya ada kami berdua, saya dan ibu, -dua kakak perempuan saya sudah berKK sendiri-.
Setiap kali pulang dan menjumpai momen-momen kami mengingat bapak, saya ingat pesan para ustadz bahwa setiap kita sedang dalam perjalanan. Meninggal bukanlah hilang. Tapi berpindah alam lebih dulu. Bapak ada, hanya saja sekarang bapak di alam barzakh, alam yang tidak dapat ditembus lagi untuk kembali ke dunia kita saat ini. Alloh sudah mencukupkan waktu ibadah bapak. Semoga Alloh terima amal shalihnya dan Alloh hapuskan kesalahannya. Tinggal kita, yang masih di dunia dan punya kesempatan, semoga kita mampu menabung sebanyak-banyak amal shalih untuk bekal perjalanan kita selanjutnya. aamiin

Bagi kalian yang juga baru saja ditinggalkan, jangan berlarut-larut dalam kesedihan. Ambil hikmahnya sebagai pengingat bahwa kita kelak juga akan menempuh fase yang sama. Dan Alloh juga berjanji mengembalikan kita bersama keluarga kita kelak... syaratnya kita dan keluarga kita sama-sama beriman

".... maka barangsiapa diberikan catatan dari sebelah kanannya, maka dia akan dihisab dengan hisab yang mudah. Dan dia akan kembali kepada keluarganya yang sama-sama beriman dengan gembira."

..... catatan dari sebelah kanan... hisab yang mudah... dan keluarga yang beriman.

Betapa pertanyaan "hidupmu buat apa? bukankah cuma sebentar saja?" harusnya cukup jadi pengingat bahwa kita berada dalam sebuah perjalanan yang singkat. Sangat sebentar. Dan semoga bisa pulang dengan sebanyak-banyak bekal untuk mendapat ridoNya. aamiin.

Semoga ini menjadi tadzkirah buat kita bersama. aamiin :)

Heterosis dan Potensi Peningkatan Produktifitas Agrikultur!

Pernah dengar istilah benih hibrida? Inilah heterosis, fenomena dibalik terciptanya benih hibrida! Heterosis merupakan fenomena di mana gene...

Yang Paling Sering Dibaca

Blog Archive