Journal Reading: Produksi Tanaman Kentang Bebas Virus Menggunakan Kultur Meristem dari Kultivar yang Ditumbuhkan di Bawah Lingkungan Jordanian


Al-Taleb, M.,  Hassawi, D &  Abu-Romman, S. 2011. Production of Virus Free Potato Plants Using Meristem Culture from Cultivars Grown under Jordanian Environment. American-Eurasian J. Agric. & Environ. Sci., 11 (4): 467-472.
Abstrak:
Kultur meristem menjadi sarana yang menjanjikan untuk mengeliminasi virus dari tanaman yang terinfeksi virus dan berhasil diterapkan pada kentang. Sejumlah 70 kentang ( Solanum tuberosum L.) dari masing-masing 3 kultivar yang ditumbuhkan di Jordan diperoleh dari Kementerian Pertanian, diuji dengan ELISA untuk mendeteksi adanya infeksi virus. Kehadiran infeksi Potato Virus Y (PVY) yaitu 21,4% (kultivar Spunta), 15,7 % (kultivar Alaska), 12,8 % (kultivar Safrane). Kultur meristem diaplikasikan pada kentang yang terinfeksi untuk tiga kultivar tersebut.  Hasil perkembangan tunas dan akar mengindikasikan bahwa medium yang ditambah dengan 0.5 mg/l IBA (indole butyric acid) menunjukkan pemanjangan akar yang baik sekitar 9,41 cm, jumlah tunas sekitar 2,6 dan jumlah daun sekitar 15,40. Hasil Elisa untuk planlet yang diproduksi secara in vitro menunjukkan bahwa planlet bebas virus PVY. Reverse transcription polymerase chain reaction (RT-PCR) berhasil diamplifikasi gen coat protein (CP) dari virus PVY dalam sampel yang terinfeksi dan mengkonfirmasi hasil ELISA. Aklimatisasi planlet yang dihasilkan dari tahap multiplikasi akar atau tunas secara in vitro terungkap bahwa 90 % pada kultivar Spunta yang mampu bertahan hidup dan 80 % baik pada kultivar Alaska dan Safrane yang mampu bertahan hidup.

A.      Pendahuluan
Tanaman kentang (Solanum tuberosum L.) merupakan salah satu tanaman pangan penting dunia yang menduduki peringkat ke empat setelah nasi, gandum dan jagung.   Kentang biasanya digunakan untuk dimakan manusia, sebagai pakan ternak, dan sumber pati serta alkohol. Kentang sebagai tanaman pangan memiliki kedudukan penting secara ekonomi  di Jordania dengan produksi mencapai 59230 pada tahun 2010.
Virus dan viroid adalah sumber penyakit yang umumnya menyerang tanaman kentang. Beberapa yang terkenal yaitu PVY, PVX dan PLRV. PVY mengakibatkan pola mosaik kuning, hijau muda maupun hijau tua pada daun, nekrosis pada pembuluh daun maupun akar, serta kematian pada titik tumbuh. PVX memunculkan gejala yang sama dengan PVY. PLRV mengakibatkan nekrosis pada margin daun muda sehingga mengakibatkan daun terkesan menggulung. Kehadiran penyakit yang disebabkan oleh virus merupakan alasan yang penting yang menunjukkan penurunan produktivitas tanaman kentang hingga 75%. Sebagai contoh, PVX sendiri dapat menyebabkan penurunan hasil panen sebesar 15-30%; PLRV dan beberapa strain PVY mengurangi hasil umbi sekitar 50-80%.
Kultur jaringan tumbuhan di Jordan telah memberikan bukti kemajuan yang signifikan dalam produksi tanaman bebas virus. Jaringan meristem dikenal bebas virus karena pembuluh xilem dan floem tidak dijumpai pada meristem. Jaringan meristem berpotensi dalam pengembangan kentang dari tanaman kentang yang bebas virus dengan penciptaan meriklon. Pada penggunaan umbi kentang bebas virus, diketahui terjadi peningkatan sebesar 40% dari hasil panen kentang sehingga penggunaan meriklon diharapkan juga dapat meningkatkan hasil panen kentang karena sifatnya yang bebas virus.
Teknik ELISA (enzyme-linked immunosorbent assay) menjadi metode standar untuk deteksi virus tanaman dan telah diaplikasikan deteksi dan identifikasi virus tanaman kentang. Enzim reverse transcriptase pada reverse transcriptase - polymerase chain reaction (RT-PCR), yang didasarkan pada deteksi suatu phatogen juga merupakan metode yang sederhana dan digunakan secara luas untuk mendeteksi virus RNA. Uji RT-PCR mengkombinasikan sintesis cDNA dan amplifikasi PCR yang telah digambarkan untuk deteksi virus tanaman kentang seperti PVY, PLRV dan PVA.
Tingginya biaya pada penyediaan bibit dari umbi, perawatan, penyimpanan dan adanya penyebaran virus secara khusus menjadi masalah dalam produksi kentang di Jordan. Penelitian ini diharapkan mampu mengatasi masalah tersebut dengan menghasilkan protokol kultur meristem yang reproduktif untuk produksi tanaman kentang bebas virus yang dapat tumbuh di lingkungan Jordanian. Selain itu, penelitian ini juga dilakukan untuk mengkonfirmasi ketiadaan virus pada meriklon menggunakan teknik ELISA dan RT-PCR.

B.       Bahan dan Metode
1.      Persiapan material tanaman
Umbi dari varietas kentang yang komersial (Alaska, Spunta dan Safrane) dari kementerian pertanian di Jordania diuji DAS-ELISA untuk mendeteksi keberadaan virus. Umbi kentang yang terinfeksi virus dipilih dan digunakan untuk produksi bibit.
2.      Pembentukan kultur meristem
Sebanyak 30 bibit yang terinfeksi PVY dari umbi kentang dari masing-masing varietas digunakan sebagai eksplan untuk kultur meristem. Tunas dipotong dan disterilisasi dalam 0,1 % hypochlorite dan 3 tetes Tween-20 selama 10 menit, kemudian dilakukan  3 kali pencucian dengan air suling steril. Meristem pucuk daun primodia dipotong dan diisolasi di dalam LAF menggunakan mikroskop. Media MS 0 digunakan sebagai medium kultur dasar. Setelah menyesuaikan PH 5,7, medium di padatkan dengan 8 g/l agar Difco Bacto dan disterilisasi di dalam autoklaf pada suhu 121 0C selama 30 menit. Meristem yang terisolasi dengan cepat dipindahkan ke cawan petri steril yang mengandung 10 ml medium MS. Kultur dipelihara pada suhu 25 ± 2 0C dan dengan 16/8 (fotoperiodik terang/gelap) dalam ruang kultur. Ukuran meristem yang terisolasi sekitar 0,3 mm.
3.      Pembentukan tunas dan akar
Setelah 4 minggu kultur meristem awal, 10 meristem yang telah berkembang dari masing-masing kultivar disubkultur dalam medium MS 0, 10 lainnya disubkultur pada medium MS yang ditambah 0,5 mg/l NAA dan 10 lainnya disubkultur pada medium MS ditambah 0,5 mg/l IBA. Semua subkultur dikerjakan dengan 15 ml medium MS, pH 5,7 dan ditambahkan 8 g/l Difco Bacto agar, yang kemudian diberikan pada masing tabung reaksi Pyrex (25x150 mm) dan telah disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 1210C selama 30 menit. Kultur kemudian diinkubasi dalam ruang kultur pada suhu 25± 20C dam fotoperiode 16/8 (terang/gelap), 1 kilo lux intensitas cahaya disediakan dengan menggunakan lampu fuoroscent putih. Setelah 5 minggu, planlet yang berkembang diamati untuk beberapa parameter, seperti panjang pucuk, panjang akar, jumlah daun, jumlah akar dan jumlah tunas.
4.      Aklimatisasi
Planlet yang telah memiliki akar dari masing-masing kultivar diambil dari tabung reaksi dan kemudian dicuci dengan air suling yang steril untuk menghilangkan agar yang menempel. Kemudian planlet dipindahkan ke dalam pot-pot kecil yang berukuran 7 cm yang mengandung 1:1 (peat moss: perlite mixture) dan ditutup dengan plastik. Masing-masing pot dipelihara dengan suhu 250C dan fotoperiod (16/8) terang/gelap selama 4 minggu di ruang kultur. Setelah itu, planlet dipindahkan ke green house dan diteruskan pertumbuhannya pada suhu 26± 20C.
5.      Reverse Transcriptase-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR)
Sejumlah RNA  diekstraksi dari daun planlet kentang yang ditumbuhkan dalam green house, menggunakan EZ-10 Spin Column Total RNA Minipreps Super Kit (Bio Basic, Canada). RNA yang telah diekstraksi tadi digunakan sebagai template untuk sintesis cDNA. Sebuah fragmen protein selubung PVY dengan ukuran kira-kira 801 bp diamplifikasi dengan sepasang primer yang spesifik:
·         PVYCPv BamH1 (5’TCAAGGATCCGCAAATGACA CAATTGATGCAGAGG-3’)
·         PVYCPc EcoR1 (5’-AGAGAGAATTCATCACATGTTCTTGA CTCC-3’)
Coat protein (CP) dari PVY diamplifikasi menggunakan sistem RT-PCR berdasarkan protokol yang ada.
6.      Deteksi Hasil PCR yang diamplifikasi
Faktor kuantitas 10 μl dari masing-masing produk PCR dielektroforesis pada 1 % gel agarosa menggunakan buffer 0.5X TBE. Hasil PCR divisualisasikan di bawah transilluminator UV dan didokumentasikan dengan sistem dokumentasi gel (Gel Doc 200, BIO-RAD, USA) setelah pewarnaan gel menggunakan ethidium bromide (0,5 μg/ml). 1 kb DNA ladder digunakan sebagai marker untuk menentukan ukuran fragmen yang telah diamplifikasi.
7.      Analisis Statistik
Data yang didapatkan diolah dengan ANOVA. Least Significant Differences (LSD) taraf 0.05 untuk menilai perbedaan pada karakter yang diamati pada masing-masing perlakuan medium.

C.      Hasil dan Pembahasan
Penggunaan uji DAS-ELISA pada awal persiapan material tanaman menunjukkan bahwa 15 dari 70 buah umbi kentang (21,4%) dari kutivar Spunta, 11 dari 70 buah umbi kentang (15,7%) dari kutivar Alaska, dan 9 dari 70 buah umbi kentang (12,8%) dari kultivar Safrane terinfeksi PVY. Umbi kentang yang terinfeksi dari masing-masing kutivar tersebut digunakan sebagai sumber eksplan untuk kultur meristem pada medium bebas hormon sebanyak 30 dari 90 meristem awal yang terbentuk.
Meristem memulai pertumbuhan awal dengan meningkatkan ukuran dan perubahan warna menjadi hijau terang secara gradual. Dalam 2-3 minggu, tampak daun kecil. Setelah 4 minggu, 30 meristem kemudian dipindahkan (masing-masing 10 meristem) ke tiga medium dengan konsentrasi zat pengatur tumbuh berbeda. Semua planlet kentang yang dikembangkan secara in vitro kemudian diuji DAS-ELISA seluruhnya bebas dari kontaminasi virus. Hal ini membuktikan bahwa memang benar plantlet dengan sumber eksplan meristem bebas dari kontaminasi virus.
Planlet yang dikembangkan diamati 5 karakternya yaitu: panjang tunas, panjang akar, jumlah tunas, jumlah akar, dan jumlah daun. Sumber variasi kultivar, media, dan interaksi antara kultivar dan media secara statistik menunjukkan beda nyata untuk semua (5) karakteristik dalam taraf signifikansi 5% (Tabel 1). Hal ini menunjukkan bahwa masing-masing sumber variasi menyebabkan adanya perbedaan yang signifikan pada masing-masing karakter yang diamati.

Pada Tabel 2, disampaikan hasil pengamatan 5 karakter setelah dilakukan subkultur pada medium yang ditambah dengan 0.5 mg NAA dan 0,5 mg/l IBA dan MS yang bebas hormon. Baik NAA maupun IBA merupakan hormon yang termasuk ke dalam golongan auksin. Hasil yang diperoleh menunjukkan medium MS yang ditambah 0,5 mg/l IBA adalah medium yang terbaik untuk panjang tunas dengan rata-rata 7,71; panjang akar dengan rata-rata 9,41; jumlah tunas dengan rata-rata 2,60; dan jumlah daun terbanyak dengan rata-rata 15,40. Penggunaan 0,5 mg/l IBA merupakan medium yang paling efektif untuk perkembangan tunas dan akar dari meristem yang dikembangkan awal.
Berdasarkan penelitian sebelumnya diketahui kultivar Spunta dan Safrane menunjukkan respon yang lebih menguntungkan untuk pengembangan meriklon daripada kultivar Alaska. Hal ini pun tampak pada hasil pengamatan pada Tabel 2 yang menunjukkan bahwa rata-rata nilai kuantitatif dari karakter-karakter yang diamati menghasilkan data bahwa kultivar Spunta dan Safran terlihat lebih unggul. Sifat-sifat respon kentang yang berbeda ini berhubungan dengan faktor genetik dari masing-masing kutivar.
Hasil RT-PCR mengkonfirmasi ketidakhadiran virus PVY dalam plantlet kentang yang dikembangkan melalui kultur meristem. Primer PVYCPv BamH1, PFYCPc EcoR1 efisien untuk deteksi PVY dalam sampel yang terinfeksi akan menunjukkan band pada hasil elektroforesis sebesar 801 bp. Akan tetapi, dari sampel tanaman yang dihasilkan dari kultur meristem tidak menunjukkan adanya band yang mengkonfirmasi keberadaan virus. Hal ini sesuai dengan uji DAS-ELISA yang dilakukan di awal.

            Aklimatisasi planlet yang dihasilkan dari tahap multiplikasi akar atau tunas secara in vitro terungkap bahwa 90 % kultivar Spunta mampu bertahan hidup sedangkan kultivar Alaska dan Safrane yang mampu bertahan hidup sebanyak 80%.

D.      Kesimpulan

Kultur meristem pada tanaman kentang bisa menjadi solusi untuk menghasilkan planlet tanaman kentang yang bebas virus PVY. Hal ini akan mengatasi banyaknya bibit kentang bervirus mengingat bahwa selama ini kentang lebih banyak dikembangkan dari material vegetatif.

Tanaman Transgenik*

Pendahuluan
Transformasi genetik dilakukan dengan cara menginduksi gen dari suatu organisme ke organisme yang lain untuk memperoleh sifat baru yang diinginkan. Transformai genetic dilakukan dengan menyisipkan gen ke dalam vector lain, kemudian diintroduksikan ke dalam DNA inang sehingga terbentukDNA rekombinan. Proses transformasi genetik dapat dilakukan secara langsung seperti dengan senyawa kimia polietilen-glokon (PEG), alat electroporator, dan kejutan panas (heat shock), atau secara tidak langsung dengan menggunakan Argobacterium tumifaciens. Dasar keberhasilan transformasi genetic dapat dilihat pada kemampuan sel target untuk berkembang menjadi tanaman utuh. Beberapa tujuan dibuat tanaman transgenik seperti meningkatkan produktifitas, meningkatkan daya tahan tanaman terhadap penyakit, meningkatkan daya tahan tanaman terhadap cekaman lingkungan, dan meningkatkan kandungan senyawa tertentu pada tanaman.
Sistem Deteksi Tanaman Transgenik
Identifikasi tanaman transgenik dapat dilakukan dengan teknik blotting. Berdasarkan jenis molekul (DNA, mRNA, Protein) yang akan dideteksi, ada 3 tipe blotting yaitu; Southern Blotting (DNA), Northern Blotting (mRNA), dan Westhern Blotting (Protein). Southern Blotting berperan untuk mendeteksi keberadaan DNA target dalam genome DNA rekombinan. Northern Blotting berperan untuk mendeteksi ekspresi gen pada level trankripsi mRNA. Sedangkan Westhern Blotting berperan untuk mendeteksi ekspresi gen pada level protein yang terbentuk.
Dalam teknik blotting, semua prosedur diawali dengan elektroforesis. Molekul yang akan dideteksi ditransfer dari matriks gel ke nitroselulosa (atau nylon) untuk dianalisis. Tujuan penempelan molekul tersebut ke nitroselulosa (atau nylon) adalah untuk mengimobilisasi molekul. Suatu probe yang telah terlabel kemudian akan berhibridisasi dengan molekul tersebut (Mosier & Ladisch, 2009).  Hibridisasi dapat terjadi antara untai tunggal rantai asam nukleat dengan sekuen nukleotida komplemennya (DNA :DNA, RNA :RNA, RNA :DNA). Probe yang dipakai pada Southern Blotting biasanya berupa DNA-radioaktif atau nonradioaktif. Untuk Northern Blotting, probenya berupa cDNA, cRNA-radioaktif atau nonradioaktif, sedangkan untuk Westhern Blotting, probenya berupa antibodi (Puspitasari, 2014).
 Jika sekuen yang berisi nukleotida yang telah terlabel radioaktif digunakan sebagai probe untuk fragmen-fragmen DNA non-radioaktif, hanya untaian-untaian yang berkomplementer dengan probe yang akan terhibridisasi. Band-band lainnya tidak akan terdeteksi dengan photoautoradiography atau dengan teknik deteksi serupa karena mereka tidak akan berasosiasi dengan probe radioaktif. Pada Westhern Blotting, hibridisasi terjadi antara protein tertentu dengan antibodi yang spesifik terhadap protein tersebut.
Tabel Perbedaan Southern Blotting, Northern Blotting, dan Westhern Blotting
Perbedaan
Southern Blotting
Nortern Blotting
Western Blotting
Molekul yang dideteksi
DNA
RNA
Protein
Gel Elektroforesis
Gel Agarose
Formaldehyde Gel Agarose
Gel Polyacrylamide
Metode Blotting
Transfer Capillary
Transfer Capillary
Transfer Electric
Probes
DNA Radioactive atau nonradioactive
cDNA, cRNA Radioactive atau nonradioactive
antibodi
Sistem Deteksi
Autoradiography Chemiluminescent Colorimetric
Autoradiography Chemiluminescent Colorimetric
Chemiluminescent Colorimetric

Contoh Tanaman Transgenik
Hingga saat ini telah banyak tanaman transgenik yang dihasilkan baik untuk tujuan saintifik maupun untuk tujuan komersial. Salah satu usaha pembuatan tanaman transgenik yang dilakukan adalah pembuatan Alfalfa yang tahan terhadap cekaman kadar garam tinggi. Alfalfa (Medicago sativa) merupakan tanaman pakan ternak yang dikenal memiliki kadar gizi tinggi. Terbatasnya lahan subur karena kultivasi tanaman pangan mengakibatkan perlunya pemanfaatan lahan kritis dengan kadar garam tinggi untuk dimanfaatkan sebagai penghasil tanaman pakan ternak. Penyisipan gen rstB pada tanaman Alfalfa diharapkan mampu memberi solusi untuk hal ini.

Hasil transformasi menunjukkan peningkatan ketahanan tanaman Alfalfa terhadap kadar garam melalui transformasi dengan Agrobacterium.  Tidak ditemukan karakteristik abnormal pada tanaman transgenik jika dibandingkan dengan wild typenya. Peningkatan resistensi pada kadar garam terlihat mulai dari tanaman transgenik pertama (T0). Generasi kedua tanaman transgenik menunjukkan adanya peningkatan kecepatan germinasi dan pertumbuhan benih dibawah kondisi cekaman garam. Akumulasi NA+ menurun sedangkan Ca2+ bertambah jika diamati pada tanaman transgenik T1. Peningkatan kada Ca2+ juga diamati dengan uji lokalisasi sitokimia dari Ca2+. Pada cekaman NaCl 50 mM, sekitar 15% tanaman transgenik menyelesaikan siklus hidupnya akan tetapi tanaman wild type tidak mampu membentuk bunga. Hasilnya menunjukkan bahwa ekspresi dari gen rstB meningkatkan toleransi garam pada tanaman Alfalfa transgenik.

*Dari Berbagai Sumber

Journal Reading: Mitochondria Localize to the Cleavage Furrow in Mammalian Cytokinesis

Elizabeth J. Lawrence, Craig A. Mandato*
Department of Anatomy and Cell Biology, McGill University, Montreal, Quebec, Canada

Abstrak
Mitochondria are dynamic organelles with multiple cellular functions, including ATP production,  alcium buffering, and lipid biosynthesis. Several studies have shown that mitochondrial positioning is regulated by the cytoskeleton during cell division in several eukaryotic systems. However, the distribution of mitochondria during mammalian cytokinesis and whether the distribution is regulated by the cytoskeleton has not been examined. Using live spinning disk confocal microscopy and quantitative analysis of mitochondrial fluorescence intensity, we demonstrate that mitochondria are recruited to the cleavage furrow during cytokinesis in HeLa cells. After anaphase onset, the mitochondria are recruited towards the site of cleavage furrow formation, where they remain enriched as the furrow ingresses and until cytokinesis completion. Furthermore, we show that recruitment of mitochondria to the furrow occurs in multiple mammalian cells lines as well as in monopolar, bipolar, and multipolar divisions, suggesting that the mechanism of recruitment is conserved and robust. Using inhibitors of cytoskeleton dynamics, we show that the microtubule cytoskeleton, but not actin, is required to transport mitochondria to the cleavage furrow. Thus, mitochondria are specifically recruited to the cleavage furrow in a microtubule-dependent manner during mammalian cytokinesis. Two possible reasons for this could be to localize mitochondrial function to the furrow to facilitate cytokinesis and / or ensure accurate mitochondrial inheritance.
Pendahuluan
Sitokinesis adalah tahapan akhir dari pembelahan sel dan menghasilkan dua anakan sel yang sama. Beragam bagian dari sel turut serta dalam proses pembelahan dari mulai pembentukan lekukan awal hingga akhirnya sitokinesis berakhir. Mitokondria adalah organel yang memproduksi ATP. Mitokondria merupakan organel yang dinamis pada sel-sel eukariot sehingga memungkinkan untuk berubah kedudukan pada saat-saat tertentu. Beberapa studi menunjukkan bahwa mitokondria dikendalikan oleh sitoskeleton. Meskipun demikian, belum diketahui bagaimana lokasi spesifik mitokondria selama pembelahan sel serta jenis sitoskeleton apa saja yang berperan. Studi ini bertujuan untuk mengamati distribusi mitokondria selama sitokinesis pada kultur sel mamalia menggunakan mikroskop konfokal serta mengamati peran aktin dan mikrotubulus dalam menentukan posisi mitokondria selama pembelahan sel.
Material dan Metode
Kultur sel dan Drug Treatments
Sel mamalia dipelihara pada suhu 37 derajat dengan oksigen 5% pada inkubator dengan media yang mengandung 10% FBS dan 2 nM. Sel HeLa, Ptk2, dan Vero ditumbuhkan di MEM ssedangkan C2C12 ditumbuhkan dii DMEM. Untuk mewarnai mitokondria, sel hidup diinkubasi 30 menit dengan nM MitoTracker Red CMX Ros atau MitoTracker Green dalam keadaan gelap. Drug treatment untuk aktin sel diberikan media dengan 0,1% DMSO (sebagai kontrol), 100 nM Lantrunculin A atau 500 nM Jasplakinolide. Drug treatment untuk mikrotubulus digunakan media 0,1% DMSO (sebagai kontrol), 20µM Nocodazole atau 10µM Taxol. Sel dengan spindel monopolar dipelihara pada inkubasi dengan 100µM Monastrol selama 2 hingga 12 jam dan anafase diinduksi dengan penambahan 30µM Purvalanol.
Immunofluoresen
Sel difiksasi dengan 3,2% paraformaldehid di PBS selama 15 menit. Sebelum perlakuan antibodi, sel dipermeabilisasi dengan PBS yang berisi 0,1% Triton X-100 dan diblok dengan 2% BSA dalam PBS selama 30 menit. Sel diinkubasi pada suhu 4oC semalaman dan selama 45 menit pada suhu ruangan dengan antibodi. F-aktin diwarnai dengan Phalloidin 488 dan DNA diwarnai dengan DAPI.
Pengamatan Mikroskop dan Penggambaran
Gambar diperoleh dengan menggunakan Confocal LSM 510 META Confocal System pada Zeiss Axiovert 200M inverted microscope. Untuk pengamatan hidup, sel HeLa ditumbuhkan pada glass-bottom dishes 35 mm dan dipelihara pada media MEM bebas fenol pada suhu 37oC dan CO2 5%.
Analisis Gambar dan Statistik
Intensitas flouresen pada lima tahapan pembelahan sel dikuantifikasikan. Tahapan pembelahan tersebut adalah metafase, anafase, sitokinesis awal, sitokinesis tengah, dan sitokinesis akhir. Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan F-Test (ᾳ=5%).
Hasil
Sel HeLa dengan pewarnaan MitoTracker Red yang digunakan untuk mengamati mitokondria menunjukkan bahwa mitokondria melokalisasi celah pembelahan dan mengosongkan kutub sel pada pembelahan sel mamalia. Hasil analisis flouresensi mitokondria menunjukkan bahwa polarisasi mitokondria dari kutub ke area celah pembelahan mengalami peningkatan pada setiap kenaikan fase pada lima fase pembelahan.  
Distribusi mamalia pada sitokinesis berbeda dari ER, Golgi, dan Lisosom. Sel HeLa dengan pewarnaan MitoTrackerRed, ER dengan anti-GRP-170, golgi dengan anti-Golgin-97, lisosom dengan (anti-Lamp-1), dan DNA dengan DAPI. Sama seperti hasil sebelumnya, mitokondria menempati pagian celah pembelahan dan berkurang pada bagian kutub sel. ER terdistribusi di seluruh sitoplasma kecuali area yang ditempati oleh kromosom. Golgi terdispersi di sitoplasma namun paling banyak di daerah kutub spindel. Lisosom terlokalisasi di area tengah mikrotubulus dan kutub spindel.
Mitokondria melokalisasi celah pembelahan pada pembelahan multipolar dan monopolar. Pada kultur sel HeLa, pengamatan mitosis sel tripolar dan tetrapolar. Pada pembelahan multipolar tersebut, mitokondria terakumulasi pada setiap celah pembelahan.
Sitoskeleton aktin tidak diperlukan untuk penautan mitokondria ke celah pembelahan. Penggunaan inhibitor aktin berupa Latrunculin atau Jasplakinolide untuk mendepolarisasi atau menstabilkan aktin menjukkan mitokondria berpindah dari kutub ke area ekuator. Sedangkan Jasplakinolide mitokondria menempati ekuator dan mengosongkan area kutub sehingga aktin tidak berpengaruh signifikan pada pergerakan mitokondria.
Mikrotubulus mengatur penempatan Mitokondria ke celah pembelahan. Perlakuan Nocodazole dan Taxol menunjukkan bahwa perlakuan pada mikrotubulus mengurangi akurasi penempatan  mitokondria
Kesimpulan

Mitokondria ditarik ke celah pembelahan dan jauh dari kutub sel selama sitokinesis pada sel mamalia dengan menggunakan mekanisme microtubule-dependent. Posisi mitokondria oleh mikrotubulus membantu akurasi pembagian mitokondria ke sel anakan selama sitokinesis. Selain itu, lokalisasi mitokondria di daerah celah pembelahan mungkin memfasilitasi sitokinesis dengan meningkatkan aktifitas mitokondria. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengembangkan mekanisme molekuler dari celah pembelahan pada sitokinesis. 

Transport Protein pada Membran Mitokondria

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Membran pada sel memiliki fungsi sebagai pelindung sekaligus pintu gerbang keluar masuknya zat dari dan ke dalam sel. Sel eukariotik dikenal sebagai sel yang memiliki sistem organisasi lingkungan internal yang rapih dengan adanya sistem membran di dalamnya. Pada sel eukariotik, membran juga dimiliki oleh organel mitokondria yang berada di dalam sel. Membran pada mitokondria merupakan membran ganda -yaitu membran dalam dan membran luar organel- yang membungkus struktur mitokondria.
Mitokondria sebagai organel semiotonom -karena memiliki materi genetik- memiliki keterbatasan dalam menghasilkan protein yang diperlukan dalam proses respirasi. Sebagai konsekuensi dari hal tersebut, mitokondria harus memasukan protein tertentu yang dihasilkan oleh gen kromosomal pada inti sel. Mekanisme transportasi protein tersebut melibatkan membran mitokondria sebagai fasilitatornya. Hal ini menarik untuk dipelajari sebab mitokondria adalah organel yang penting dalam respirasi internal sel.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah disampaikan dapat dirumuskan pertanyaan berikut, “Bagaimana sistem transport protein yang terjadi pada membran ganda mitokondria?”
C.    Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui sistem transport protein yang terjadi pada membran mitokondria.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Membran merupakan bagian yang membatasi suatu lingkungan dengan lingkungan lain. Membran pada sel berfungsi untuk membatasi lingkungan internal sel dan lingkungan eksternal sel. Pada organel, membran berfungsi untuk memisahkan lingkungan internal organel dengan lingkungan sitoplasma.
Mitokondria merupakan organel sel yang memiliki membran ganda. Membran mitokondria terdiri atas membran luar dan membran dalam. Keberadaan membran ganda ini membuat mitokondria memiliki dua daerah yaitu daerah ruang antar membran dan daerah di dalam membran dalam yang berisi matriks mitokondria. Pada prinsipnya, membran mitokondria tersusun atas komponen dasar yang sama dengan membran sel, yaitu fosfolipid. Meskipun demikian, membran dalam dan membran luar mitokondria memiliki asesoris yang berbeda sehingga terdapat beberapa fungsi yang berbeda pula pada keduanya. 
A.    Struktur Membran Mitokondria
Membran luar pada mitokondria berperan dalam membatasi lingkungan sitoplasma dengan ruang antar membran mitokondria sedangkan membran dalam mitokondria berperan membatasi ruang antar membran dengan bagian matriks mitokondria. Selain perbedaan fungsi tersebut, membran ganda pada mitokondria memiliki perbedaan komponen protein asesoris sehingga menambah kekhususan fungsi masing-masing membran.
 1.      Membran luar mitokondria
Membran luar mitokondria merupakan komponen fosfolipid bilayer yang memisahkan ruang antar membran mitokondria dengan lingkungan sitoplasma. Seperti halnya membran plasma pada sel eukariot pada umumnya, fungsi utama dari membran luar mitokondria adalah untuk mengatur apa yang masuk dan keluar dari mitokondria. Pada membran luar mitokondria, diketahui bahwa perbandingan antara protein yang terintegrasi pada membran dengan fosfolipid bilayer sebesar 1:1 (Gauthier, www.study.com). Protein-protein tersebut adalah bagian yang bertanggungjawab untuk mengatur keluar masuknya zat pada mitokondria.
Banyak protein yang diperlukan oleh mitokondria disintesis di luar mitokondria. Oleh sebab itu, membran luar mitokondria memiliki bagian yang dapat digunakan untuk mengatur transportasi protein ke dalam mitokondria.
Pada transportasi molekul protein yang kecil, membran luar mitokondria memiliki porin yang mengatur keluar masuk protein tersebut. Sedangkan untuk protein yang besar, membran luar mitokondria memiliki TOM (translocase of the outer membrane) yang mengatur transportasi protein tersebut. Membran luar mitokondria terkadang juga berasosiasi dengan retikulum endoplasma. Hal ini untuk memudahkan transportasi materi dari retikulum endoplasma ke dalam mitokondria.
2.      Membran dalam mitokondria
Membran dalam mitokondria bersifat permeabel untuk oksigen, karbondioksida, dan air. Permukaan membran dalam mitokondria ini sangat komplek dengan adanya beragam protein enzim sesuai perannya dalam mekanisme transport elektron dan fosforilasi oksidatif. Membran dalam mitokondria memiliki lekukan-lekukan krista yang khas. Lekukan krista tersebut berperan penting dalam memperluas permukaan sehingga transport elektron dan fosforilasi oksidatif memiliki ruang yang lebih luas untuk dilaksanakan.
B.     Mekanisme Transfer Protein Melalui Membran Mitokondria
Transport protein pada mitokondria adalah hal yang sangat penting mengingat bahwa mitokondria tidak dapat memenuhi seluruh kebutuhan protein hanya dengan mensintesisnya sendiri dari DNA mitokondria. Oleh sebab itu, mitokondria memerlukan protein yang dikodekan oleh DNA kromosomal.
1.      Pengenalan prekursor protein spesifik
Protein yang akan dimasukan ke dalam mitokondria biasanya merupakan hasil sintesis protein oleh ribosom yang berada di area sitoplasma. Berbeda dengan protein yang kemudian mengalami postranslasi melalui retikulum endoplasma, protein untuk mitokondria biasanya berbentuk protein prekusor. Protein prekusor dengan struktur tersier yang stabil tidak dapat melintasi membran mitokondria. Oleh sebab itu, saat sebelum dan sedang ditranslokasi protein harus berada dalam bentuk tidak terlipat. Dalam hal ini maka protein prekursor berinteraksi dengan protein chaperone sehingga bentuknya tetap terjaga tanpa mengalami pelipatan.
Pada bagian N-terminus dari protein prekusor biasanya dilengkapi dengan sekuens signal. Sekuens signal ini juga biasa disebut dengan preprekursor, berupa pemanjangan asam amino di bagian N-terminus. Sekuens signal ini diperlukan sebagai penanda yang berikatan dengan protein chaperone dalam sitosol yang kemudian akan mengantarnya pada mitokondria, juga penanda bagi molekul reseptor pada membra mitokondria. Ciri lain dari protein prekursor yang akan dimasukan ke dalam mitokondria yaitu seringkali memiliki struktur yang amphiphilik dengan adanya struktur bermuatan positif dan bermuatan negatif (Pfanner & Walter, 1989). Dengan adanya signal dari preprekursor ini kemudian molekul reseptor pada membran luar mitokondria dapat mengenali sekuens protein untuk kemudian ditranslokasikan ke dalam mitokondria.
2.      Translokasi protein prekusor melintasi membran mitokondria
Translokasi protein pada membran mitokondria difasilitasi oleh protein-protein translokator yang berada di membran. Bagian preprekursor protein akan dikenali oleh reseptor pada membran luar mitokondria yang berikatan dengan protein translokator membentuk suatu kompleks (Neupert, 1994), hal tersebut terlihat pada nomor 1 Gambar 1. Pada membran luar mitokondria terdapat kompleks protein membran TOM sedangkan pada membran dalam mitokondria terdapat kompleks membran TIM23 dan TIM22 (Gambar 2).

Gambar 2. Mekanisme Transport Protein pada Membran Mitokondria (Oliver Schmidt , Nikolaus Pfanner & Chris Meisinger, 2010)
Pada prinsipnya protein memasuki matriks mitokondria setelah berhasil melewati membran ganda mitokondria. Protein prekursor dapat melintasi kedua membran mitokondria secara bersamaan. Pada membran luar mitokondria, protein memasuki ruang antar membran melalui kompleks TOM. Saat mencapai ruang antar membran maka protein kemudan berikatan dengan kompleks TIM dan membuka channel pada kompleks TIM untuk kemudian mencapai matriks mitokondria (nomor 2 Gambar 2). Meskipun kompleks TOM dan TIM seringkali bekerja secara simultan dalam translokasi protein, keduanya dapat bekerja secara independen. Oleh sebab itu, setelah melewati channel TOM, protein prekursor dapat menggunakan kompleks yang berbeda pada membran dalam mitokondria.
TIM 23 berperan dalam mentransfer materi yang memang ditujukan untuk matriks. Beberapa protein dilepaskan secara lateral dari TIM 23 ke daerah hidrofobik di membran dalam mitokondria (nomor 3 Gambar 2).  Salah satunya adalah transfer protein ke bagian MIA. Bagian MIA berfungsi mengendalikan mekanisme import dan pelipatan oksidatif dari protein-protein intermembran (nomor 5 Gambar 2). Protein dari kompleks TIM 23 yang mencapai matriks mitokondria biasanya kemudian mengalami pemrosesan lebih lanjut berupa pemotongan sekuens signal (preprekursor) serta mengalami proses pelipatan tertentu untuk membentuk fungsinya di dalam matriks mitokondria.
Pada nomor 6 Gambar 2, kompleks chaperone Tim9-Tim10 mentransfer prekusor protein melalui ruang intermembran ke kompleks SAM. Protein tersebut kemudian menjadi protein beta barrel pada membran luar. Prekursor protein beta barrel juga dapat ditranslokasikan pada membran luar mitokondria tanpa melalui kompleks TOM, akan tetapi melalui protein MIM (nomor 8 Gambar 2). Selain itu, protein dari Tim 9-Tim10 juga dapat ditransfer ke kompleks TIM 22 untuk ditranslokasikan menjadi protein pada membran dalam mitokondria.
Beberapa protein prekursor yang disintesis di dalam matriks mitokondria juga terkadang ditranslokasikan sebagai bagi dari membran dalam mitokondria. Sama halnya dengan protein  prekursor dari luar mitokondria, struktur protein prekursor yang dihasilkan oleh mitokondria harus dalam bentuk yang tidak mengalami pelipatan (nomor 9 Gambar 2). Dalam hal ini, protein hsp70 di dalam matriks mitokondria pula yang berperan menjaga struktur protein. Protein prekursor tersebut kemudian mengalami pemrosesan lebih lanjut sesuai dengan perannya pada membran mitokondria (nomor 4 Gambar 2).
BAB III
PENUTUP
Mitokondria memerlukan protein produk gen kromosomal untuk aktifitasnya. Protein tersebut ditransfer dalam bentuk  prekursor protein yang tidak dilipat, sehingga memerlukan bantuan protein chaperone untuk menjaga strukturnya tidak terlipat. Protein prekursor ditranslokasikan melalui membran luar dan membran dalam mitokondria dengan bantuan protein membran. Kompleks protein utama pada membran luar berupa kompleks TOM, sedangkan pada membran dalam berupa kompleks TIM22 dan TIM23.
Protein yang dihasilkan oleh mitokondria sendiri juga terkadang ditranslokasikan keluar dari matriks mitokondria. Translokasi ini juga memerlukan struktur protein yang tidak terlipat. Kompleks protein yang diperlukan untuk melintasi membran dalam mitokondria berupa kompleks OXA. Di ruang antar membran, protein tersebut kemudian diproses lebih lanjut dan ditranslokasikan untuk memenuhi keperluan mitokondria.

DAFTAR PUSTAKA
Nicholas gauthier. Mitochondrial Outer Membrane: Definition & Overview. Online, http://study.com/academy/lesson/mitochondrial-outer-membrane-definition-lesson-quiz.html diakses 7 Januari 2016
Bruce Albert, et. al. 2002. Molecular Biology of The Cell. Garland Science
Oliver Schmidt, Nikolaus Pfanner, & Chris Meisinger. 2010. Mitochondrial protein import: from proteomics to functional mechanisms. Online Journal. Nature Reviews Molecular Cell Biology 11, 655-667
W. Neupert. 1994. Transport of Proteins Across Mitochondrial Membranes. Journal. Clinical Investigator 72: 251-261
N. Pfanner & W. Neupert. 1989. Transport of Proteins into Mitochondria. Journal. Current Opinion in Cell Biology 1: 624-629





















Heterosis dan Potensi Peningkatan Produktifitas Agrikultur!

Pernah dengar istilah benih hibrida? Inilah heterosis, fenomena dibalik terciptanya benih hibrida! Heterosis merupakan fenomena di mana gene...

Yang Paling Sering Dibaca

Blog Archive